Menafkahkan harta di jalan Allah merupakan salah satu perintah agama yang wajib dijalankan oleh umat Islam yang memiliki kemampuan. Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout dalam bukunya Min Taujihatil Islam mengelaborasikan pengertian menafkahkan harta di jalan Allah ialah meliputi belanja untuk kepentingan di jalan Allah, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penelitian ilmiah, disamping untuk mengangkat derajat kehidupan kaum fakir miskin.
Dengan kata lain harta kekayaan dalam Islam memiliki fungsi sosial. Islam menetapkan bahwa pemilik harta kekayaan dan hasil ekonomi yang diusahakan oleh manusia adalah Allah Yang Esa. Tugas manusia adalah mengusahakan, menjaga dan memanfaatkan dalam rangka mengabdi kepada Sang Maha Pencipta.
Dalam Islam harta adalah alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan masyarakat, tetapi harta bukanlah tujuan hidup. Tujuan hidup seorang muslim adalah mengabdi kepada Allah Swt. Seperti di jelaskan dalam Al-Qur’an:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(al-Dzariyat 56)
Islam berprinsip bahwa harta kekayaan adalah amanah Allah kepada pemiliknya untuk didayagunakan sesuai dengan aturan-aturan dan norma-norma Ilahi. Islam dengan prinsip-prinsip etik dan hukum syari’atnya mencegah agar harta itu jangan beredar pada tangan segelintir individu atau golongan tertentu saja.
Dalam system bernegara menurut konsepsi Islam, Negara sebagai pemilik kekuasaan berhak mengambil sebagian kekayaan warga Negara yang melebihi keperluan hidupnya apabila kas Negara (Baitul maal) memerlukan untuk kemaslahatan umum. Islam menetapkan hak fakir miskin pada harta orang-orang kaya.
Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, yang artinya : “Apabila terdapat seorang penduduk negeri yang kelaparan lantaran tidak dipedulikan oleh penduduk negeri itu, maka seluruh penduduk di negeri tersebut lepas dari jaminan Allah”
Ibnu Hazm sebagaimana dikutip oleh Prof, Dr.Ahmad Syalaby dalam bukunya Masyarakat Islam mengatakan, “difardhukan atas semua orang kaya didalam Negara memenuhi hak orang fakir miskin, dan pemerintah dapat memaksa orang-orang kaya.
untuk berbuat demikian bila kas Negara tidak mampu lagi memenuhi hak social warganya”.
Ulama besar almarhum Prof. Dr. Hamka menggambarkan secara sederhana perbedaan system ekonomi Komunisme dan ISLAM sebagai berikut ; “Dalam Komunis, harta kepunyaan bersama, hasilnya dinikmati bersama-sama”
Sedangkan dalam Islam, alangkah seimbangnya system ekonomi Islam, sebagaimana firman Allah;
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS.Az-Dzariat 19).
Orang miskin yang tidak mendapat bagian maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
Di dalam konteks ayat ini patut kita perhatikan sabda Rasulullah Saw. “ Serahkanlah sedekahmu sebelum datang suatu masa ketika engkau berkeliling menawarkan sedekahmu, orang-orang miskin akan menolaknya, seraya berkata: hari ini kami tidak perlu bantuanmu, yang kami perlukan darahmu.”
Di da
lam Al-Qur’an perintah mendirikan sholat selalu dirangkaikan dengan perintah membayar zakat. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Mengingkari salah satunya (Sholat dan Zakat) dipandang sebagai pembangkangan terang-terangan terhadap agama.
Sejarah Islam mencatat ketegasan khalifah Abu Bakar Shiddiq ketika memimpin pemerintahan Islam ( Th 632 -634 M), beliau mendekritkan operasi militer terhadap negeri Batha’ah yang berpenduduk muslim seluruhnya, tetapi karena provokasi orang munafik Malik bin Nuwairoh, orang-orang kaya Batha’ah tidak mau lagi membayar zakat. Khalifah waktu itu mengeluarkan peringatan “Demi Allah akan saya perangi siapa saja yang memisahkan antara kewajiban Sholat dengan kewajiban Zakat.”
Dalam perspektif kesadaran beragama, zakat memiliki bobot yang lebih tinggi dari sekedar tindakan simbul kedermawanan orang-orang kaya yang memang dianjurkan. Zakat sejatinya merupakan alat uji kepatuhan seorang muslim dalam melaksanakan dan memenuhi hak-hak masyarakat. Pada sebagian orang, mengeluarkan harta untuk kepentingan orang lain secara psikologis kadangkala lebih berat dibanding haji dan umrah yang langsung mendatangkan rasa puas pada batin si pelaku ibadah itu sendiri. Sebagai bukti belum meratanya kesadaran beragama, banyak umat Islam yang masih ogah-ogahan membayar zakat, padahal menahan zakat itu sama artinya perampasan (konfiskasi) terhadap milik orang-orang miskin dan melarat.
Perintah berzakat memiliki makna yang luas daripada sekedar menunaikan kewajiban mengeluarkan 2,5 % harta kekayaan atau hasil keuntungan usaha untuk menyantuni kaum dhu’afak dan orang-orang yang mempunyai hak menerima. Zakat merupakan strategi normative yang menyuarakan pesan moral agar orang-orang kaya menyadari tanggung jawabnya dalam mengupayakan tegaknya keadilan ekonomi dan sosial paling tidak dilingkungannya. Rukun Islam yang keempat ini sekaligus berfungsi untuk membersihkan harta orang kaya dari hak orang lain yang wajib dikeluarkan serta mengikir sifat bakhil dan mementingkan diri sendiri (egoisme) yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
Dibalik perintah berzakat setahun sekali, setiap muslim perlu mengerti, memahami dan mematuhi bahwa kewajiban terhadap sesama manusia dalam kaitannya dengan harta kekayaan tidak cukup hanya dengan mengeluarkan zakat. Secara prinsipil Islam tidak membenarkan adanya kepincangan di dalam masyarakat, di mana pada satu pihak terdapat anggota masyarakat yang berlimpah ruah dalam kemewahan, sementara di lain pihak terdapat golongan fakir miskin yang hidup seakan-akan “terkapar di abu” karena berbagai musibah dan ketidak berdayaan yang melilit mereka.
Kita perlu bersyukur kepada Allah, karena para pemimpin di Sragen ini telah memiliki komitmen kuat dalam merealisasikan zakat, manfaatnya tentu untuk kita semua yaitu untuk kesejahteraan ummat dan pengentasan kemiskinan. Kita harus mencontoh tindakan para pemimpin kita yang telah bersedia memberi contoh pelaksanaan zakat. Dengan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, pengamalan yang tidak terbatas sekadar memenuhi ketentuan-ketentuan syari’at semata, tetapi juga melaksanakan spirit atau semangat agama itu, maka kita akan dapat membuktikan kepada diri kita sendiri dan kepada orang lain bahwa Islam is solution, Islam merupakan solusi (jalan keluar) terhadap problema kemanusiaan secara kontekstual dan aktual. (Tim Vaksinasi Ruh Sragen)